Perjodohan
lewat orang tua atau internet itu sudah biasa. Namun kalau yang satu
ini lain daripada yang lain. Roma punya kebiasaan unik untuk menjaga
gadis-gadisnya dari berkelakuan buruk dan godaan-godaan duniawi lainnya.
Masyarakat Kristen Ortodoks Kalaidzhi di sana akan menjaga ketat anak-anak perempuannya sejak usia 15 tahun. Bahkan ada juga yang lebih awal memingit anak-anaknya. Hal ini untuk menjaga mereka dari budaya pernikahan di bawah umur. Namun, ada sebuah kesempatan di mana anak-anak gadis ini bisa melihat dunia bebas dan menebar pesona pada pria-pria, yaitu di ‘Bridal Market’ atau ‘Pasar Calon Mempelai Wanita’.
Di pasar yang lebih mirip perayaan ini, para gadis-gadis muda dan pria-pria muda akan bertemu. Mereka tentu saja bersama dengan para orang tua. Waniata-wanita muda akan tampil dengan pakaian gipsi atau pakaian seksi lainnya. Mereka akan berdandan semenarik mungkin untuk bisa menarik perhatian calon mempelai pria yang akan menawar mereka.
Menawar? Ya, mereka akan ditawar sebagaimana benda-benda di pasar. Namanya saja pasar calon mempelai wanita. Namun bedarnya, di sini bukan perdagangan perempuan. Orang-orang tua yang kebanyakan berlatar belakang miskin ini akan membiarkan anaknya menemukan pria yang mau ‘menawar’ mereka untuk dinikahi. Jaminannya adalah bahwa anak gadis mereka masih perawan.
Uang hasil negosiasi ini akan digunakan untuk membeli gaun pengantin dan berbagai kebutuhan pernikahan lainnya. Apabila nantinya terbukti anak gadis ini tak lagi perawan, maka keluarga mempelai wanita akan mengembalikan semua uangnya. Semakin cantik dan semakin banyak pria yang ingin melamar seorang gadis, biasanya harganya akan semakin tinggi.
Well, ini merupakan tradisi lawas yang saat ini sudah luntur, namun ada juga sebagian kecil masyarakat yang mempertahankannya. Namun, bagus juga ya tradisi menjaga keperawanan anak gadis ini?
Masyarakat Kristen Ortodoks Kalaidzhi di sana akan menjaga ketat anak-anak perempuannya sejak usia 15 tahun. Bahkan ada juga yang lebih awal memingit anak-anaknya. Hal ini untuk menjaga mereka dari budaya pernikahan di bawah umur. Namun, ada sebuah kesempatan di mana anak-anak gadis ini bisa melihat dunia bebas dan menebar pesona pada pria-pria, yaitu di ‘Bridal Market’ atau ‘Pasar Calon Mempelai Wanita’.
Di pasar yang lebih mirip perayaan ini, para gadis-gadis muda dan pria-pria muda akan bertemu. Mereka tentu saja bersama dengan para orang tua. Waniata-wanita muda akan tampil dengan pakaian gipsi atau pakaian seksi lainnya. Mereka akan berdandan semenarik mungkin untuk bisa menarik perhatian calon mempelai pria yang akan menawar mereka.
Menawar? Ya, mereka akan ditawar sebagaimana benda-benda di pasar. Namanya saja pasar calon mempelai wanita. Namun bedarnya, di sini bukan perdagangan perempuan. Orang-orang tua yang kebanyakan berlatar belakang miskin ini akan membiarkan anaknya menemukan pria yang mau ‘menawar’ mereka untuk dinikahi. Jaminannya adalah bahwa anak gadis mereka masih perawan.
Uang hasil negosiasi ini akan digunakan untuk membeli gaun pengantin dan berbagai kebutuhan pernikahan lainnya. Apabila nantinya terbukti anak gadis ini tak lagi perawan, maka keluarga mempelai wanita akan mengembalikan semua uangnya. Semakin cantik dan semakin banyak pria yang ingin melamar seorang gadis, biasanya harganya akan semakin tinggi.
Well, ini merupakan tradisi lawas yang saat ini sudah luntur, namun ada juga sebagian kecil masyarakat yang mempertahankannya. Namun, bagus juga ya tradisi menjaga keperawanan anak gadis ini?