Ini tentang review film yan berjudul “Trust”
memberi sebuah peringatan, film ini banyak memberikan terhadap remaja
putri yang gemar sekali dalam berhubungan dengan dunia maya,pesan untuk
tetap waspada terhadap orang yang kita anggap “teman” di dunia maya.
Mendapat teman di situs jejaring sosial atau chat room, bisa
jadi sangat menyenangkan, namun akan menjadi bencana jika seseorang
begitu cepat percaya dengan orang asing yang hanya dikenal lewat foto
saja, well foto bisa menipu. Apa yang digambarkan film ini juga
bukan sekedar omong kosong, ini nyata terjadi di luar sana, bahkan di
Indonesia sekalipun. Berapa kali kita
mendengar berita seorang gadis remaja termakan bujuk rayu seorang teman
pria yang baru dikenalnya di situs jejaring sosial, diajak kopi darat
dan berakhir dengan pemerkosaan. Film yang disutradarai oleh David
Schwimmer (Run, Fatboy, Run) menegaskan jika para “predator” itu memang
ada, eksis mencari mangsa dan akan melakukan apapun termasuk
mengeluarkan gombal yang paling manis didunia dari mulutnya yang berbisa.
Annie
Cameron (Liana Liberato)—gadis cantik, pintar, dan tidak populer, yang
baru merayakan ulang tahunnya yang ke empat belas tahun—begitu senang
mendapat laptop baru, hadiah dari sang ayah, Will Cameron (Clive Owen),
apalagi sekarang dia bisa bebas berinteraksi dengan teman barunya,
Charlie, yang belum lama dikenalnya secara online. Sejak mengenal Charlie, perhatian Annie sekarang tersita untuk ngobrol dengannya, tidak hanya betah seharian chatting,
kita bisa melihat Annie terus menatap layar ponselnya, ya apalagi jika
bukan saling sapa dengan teman yang mengaku seumuran dengannya itu. Ah
bahkan kita bisa mengintip apa yang mereka bicarakan, karena film ini
mengetik ulang obrolan tersebut di layar, tidak semuanya.
Ketika kehidupan keluarga Cameron berjalan terus seperti biasanya, termasuk kakak laki-laki Annie yang pindah dari rumah untuk meneruskan kuliah. Annie juga masih tetap meneruskan hubungannya dengan Charlie, tanpa ada satupun yang memerhatikan dengan serius kedekatan keduanya. Ayahnya sebetulnya tahu anaknya suka mengobrol di internet dan sahabat Annie di sekolah tahu soal Charlie, tapi menganggap biasa saja, yang tidak diketahui keduanya adalah Annie sedang melangkah ke sebuah perangkap. Ketika teman chatting-nya mengaku kalau umurnya yang sebenarnya adalah 20 tahun, walau awalnya sungkan tetapi Annie tetap bilang “tidak apa-apa”. Charlie akhirnya kembali mengaku, umurnya bukan 20 tetapi 25 tahun, tentu saja Annie marah karena merasa dibohongi, tapi sekali lagi peringatan tersebut tidak dipedulikan, Annie memaafkan dan mereka bahkan memutuskan untuk bertemu di sebuah mall. Betapa terkejutnya Annie ketika mengetahui jika Charlie ternyata adalah seorang pria berumur 30 tahunan. Sekali lagi bujuk rayuan dan karisma Charlie mampu meluluhkan amarah Annie… bahkan berhasil mengajaknya ke motel, menyuruhnya memakai pakaian seksi yang sudah dibelikan, dan selanjutnya merenggut keperawanan Annie.
“Trust” bukan lagi soal perburuan seorang Charlie si pedofilia, tentu saja menangkap penjahat seksual berkedok teman chatting
yang sudah menghancurkan hidup Annie jadi prioritas disini, kita
melihat agen FBI bekerja melakukan itu. Keluarga Annie pastinya akan
puas jika Charlie tertangkap dan penonton puas akhirnya the bad guy
mendapat apa yang dinamakan ganjaran setimpal. Tapi sekali lagi film
yang menghadirkan Catherine Keener sebagai Lynn Cameron, Ibu Annie, ini
tidak melulu berbicara soal Charlie, dan bagaimana FBI main
kucing-kucingan dengannya. David Schwimmer justru membuat porsi
pencarian Charlie hanya sebagai pelengkap, yang berjalan beriringan
dengan drama atau lebih tepatnya melodrama yang dihadirkan film ini,
posisi penting disini jelas untuk menceritakan kegalauan keluarga
setelah kejadian menyedihkan yang menimpa Annie.
Apa
yang membuat saya betah melahap “Trust” dengan durasi 100-an menitnya
adalah bagaimana jalinan cerita bergerak, lewat cerita yang ditulis
oleh Andy Bellin dan Robert Festinger, sutradara yang kita kenal lewat
serial televisi “Friends” tersebut mampu untuk memperlihatkan penonton
sebuah proses “penyembuhan” keluarga paska pemerkosaan Annie dengan
lika-liku konflik yang menarik dan menantang emosi penonton. Berbicara
soal emosi, Liana Liberato telah sukses memerankan Annie dengan begitu
cemerlang, tidak hanya sebagai gadis baik-baik yang kemudian terguncang
hebat dan harus bertarung dengan reputasinya yang buruk di sekolah
paska apa yang telah menimpanya. Liana juga juga berhasil menyampaikan
perasaannya dengan sangat baik ke penonton, ya dia adalah sumber utama
dari rollercoaster emosi di film ini. Apalagi ketika kita
mengetahui kalau Annie justru membela orang yang sudah memperkosanya
dan menyalahkan orang-orang yang justru ingin membantunya, karakter
Annie disini adalah tipikal karakter yang bisa membuat saya gila
melihat tingkah tidak tahu terima kasih-nya, beberapa kali saya justru
ingin melempar Annie dengan kulkas karena aktingnya sudah berhasil
memancing emosi sampai tingkat yang menggairahkan…itulah Annie.
Terlepas
dari betapa menyebalkannya karakter Annie (dalam artian positif),
“Trust” juga memberikan kita ruang untuk bersimpati dengan segala sikap denial
yang diperlihatkan oleh Annie. Mungkin karena secara tanpa disadari
beban yang dipikul oleh Annie sudah sama-sama kita pikul bersama
semenjak kita tahu apa yang terjadi dengannya. Tapi tetap saja sikap
menyebalkannya itu lebih dominan dan manjur membuat kita kebingungan apa
harus marah atau kasihan kepada Annie. Di satu sisi Annie membutuhkan
perhatian lebih namun di lain sisi, dia lebih cocok untuk dijauhi
dengan sikapnya, tentu saja kita akhirnya mengetahui kalau kita tidak
akan bisa menjauhi dia. Seperti ayah dan ibunya yang sudah susah payah
memperlihatkan kalau mereka peduli tapi gagal, karena mereka sayang
pada Annie, mereka tak pernah menyerah dan karena kita juga sudah
telanjur sayang dengan putri mereka, kita juga disetir untuk tidak
pernah meninggalkannya.
Jika
pada awal paragraf saya menyebut “Trust” sebagai sebuah peringatan,
dengan pesan “perhatikan anak anda dengan siapa dia berteman di dunia
maya”, itu memang betul, tapi kejelian David adalah dia tidak tampak
tengah memberikan kuliah pada penontonnya. Alih-alih terkesan menggurui
dengan film, “Trust” terus fokus untuk menceritakan proses Annie dan
keluarganya menghadapi the aftermath, bagaimana cara mereka
mengatasi masa traumatik mereka. Lalu bagaimana dengan Charlie? FBI
masih mencarinya, Will masih tetap terobsesi untuk menangkapnya, tapi
ada yang lebih penting dari sekedar bisa melihat Charlie si bangsat
tertangkap. Dengan cara David untuk tidak membuat film ini cengeng,
“Trust” toh masih tetap punya momen-momen menyentuh yang tepat ke
sasaran dan memberikan kita waktu untuk berkaca-kaca dengan momen
hubungan ayah dan anak perempuannya misalnya atau ketika dinding denial Annie runtuh.
Selain
menghadirkan akting yang menakjubkan dari Liana Liberato, jajaran
pemain lain seperti Clive Owen juga memberikan penampilan terbaiknya
disini lewat logat british-nya kental. Catherine Keener,
walaupun porsinya terbilang lebih sedikit, tapi mampu memberikan nyawa
pada filmnya, memberikan kehangatan khas seorang Ibu ketika dia muncul.
“Trust” dengan permainan akting cast-nya yang menawan dan
ditambah dengan pengembangan karakternya yang menarik, sekali lagi
bukanlah film yang hadir untuk menggurui tetapi secara leluasa
memberikan kita ruang untuk belajar. Percaya bahwa kita sebagai
penonton bisa mempelajari pesan film ini tanpa ditunjuk-tunjuk, jadi
“Trust” tetap bisa konsentrasi memberikan kita cerita sebuah keluarga
dan tragedinya—dengan gambaran yang cukup membuat frustasi—serta apa
yang mereka lakukan untuk melewati masa-masa suram tersebut