Auditor
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, Lukman Hakim mengatakan, ada empat
faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan tindak pidana korupsi
yang merugikan keuangan negara.
"Keempat
faktor yang mendorong orang korupsi itu antara lain faktor kebutuhan,
tekanan, kesempatan dan rasionalisasi," katanya saat berbicara pada
seminar nasional "Pemberantasan Kejahatan Perbankan, Tantangan
Pengawasan Bank dan Masyarakat" di Kendari, Senin (21/11)
Ia
mengatakan, seseorang terdorong untuk melakukan tindak pidana korupsi
karena ingin memiliki sesuatum namun pendapatannya tidak memungkinkan
untuk mendapatkan yang diinginkan tersebut. "Biasanya dorongan korupsi
dari faktor kebutuhan ini dilakukan oleh orang-orang bersentuhan
langsung dengan pengelolaan keuangan," katanya.
Demikian
pula dengan faktor tekanan, biasanya dilakukan karena permintaan dari
seseorang kerabat atau atasan yang tidak bisa dihindari. "Faktor tekanan
ini bisa dilakukan oleh pengelola keuangan, bisa juga oleh pejabat
tertinggi di lingkungan instansi pemerintah," katanya.
Sedangkan
faktor kesempatan, kata dia, biasanya dilakukan oleh pemegang kekuasaan
dengan memanfaatkan jabatan dan kewenangan yang dimiliki untuk
memperkaya diri. Meskipun cara untuk mendapatkan kekayaan tersebut
melanggar undang-undang yang berlaku.
Demikian
juga dengan rasionalisasi, biasanya dilakukan oleh pejabat tertinggi
seperti bupati/walikota di tingkat kabupaten/kota atau gubernur di
tingkat provinsi. "Pajabat yang melakukan korupsi ini merasa bahwa kalau
dia memiliki rumah mewah atau mobil mewah, orang lain akan
menganggapnya rasional atau wajar karena dia adalah bupati atau
gubernur," katanya.
Hal
senada juga dikemukakan Direktur Pengawasan Kepatuhan Pusat Pelaporan
dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Subintoro. Menurut dia,
seseorang terdorong melakukan tindak pidana korupsi karena ingin
memenuhi kebutuhan yang bergaya hidup mewah atau berlebih-lebihan.
Ia
mengatakan, pihak PPATK saat ini telah menemukan lebih dari 79.000
kasus transaksi keuangan yang mencurigakan. Dari jumlah tersebut, yang
dilimpahkan kepada aparat penegak hukum untuk diselidiki lebih lanjut
sebanyak 1.818 kasus transaksi.
"Sebanyak
1.818 kasus transaksi yang sudah disalurkan kepada aparat penegak hukum
itu, baru 42 kasus transaksi sudah terbukti sebagai uang hasil korupsi
dan pelakunya adalah para pejabat di instansi pemerintah," katanya.
Baik
Subiantoro maupun Lukman Hakim berpendapat bahwa untuk mencegah
maraknya pelaku tindak pidana korupsi tersebut selain pemberian saksi
hukuman berat kepada para pelaku, juga kontrol masyarakat sangat
dibutuhkan.
"Kontrol
masyarakat itu antara lain dengan melaporkan oknum pejabat yang bergaya
hidup mewah yang kebutuhan hidupnya tidak seimbang dengan pendapatan
yang diperoleh," kata Subiantoro.