Ketika KH Cholil Ridwan, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat,
Bidang Seni Budaya, berinisiatif menyarankan salah seorang seniwati
berbakat, Fatin Shidqia Lubis, untuk terus menggunakan Jilbab.
Sebagian orang menganggapnya, sebagai bentuk anjuran yang keliru,
dikarenakan menurut mereka, Jilbab bukanlah budaya bangsa Indonesia
(Nusantara).
Benarkah demikian ?
Untuk menjawab itu, ada baiknya kita membuka kembali lembaran sejarah bangsa ini.
Kerudung dalam Sejarah Nusantara
Ratusan tahun yang silam, Jilbab (pakaian perempuan yang tertutup),
sudah sangat dikenal dalam budaya masyarakat melayu. Dahulu masyarakat
Nusantara, mengenalnya dalam bentuk baju kurung, dengan menggunakan
selendang di kepala.
Di dalam kamus Al Muhith disebutkan bahwa jilbab adalah pakaian lebar
dan longgar untuk wanita dan dapat menutup, pakaian sehari-hari (tsaub),
yang ia pakai saat hendak keluar rumah.
Dalam masyarakat Nusantara, terutama etnis Melayu, menggunakan kerudung
saat keluar rumah, sudah menjadi budaya berabad-abad yang silam.
Hal ini terlihat pada, pakaian perempuan-perempuan muslimah di tanah
aceh, sebagaimana ilustrasi dari Sultana Seri Ratu Nihrasyiah Rawangsa
Khadiyu, yang memerintah Kerajaan Samudra Pasai (1400-1427) serta Ratu
Tajul Alam Safiatuddin, yang memerintah Kerajaan Aceh Darussalam
(1641-1675).
Sementara di pulau Jawa, pakaian tertutup juga bukan hal baru. Pakaian ini biasanya dipakai muslimah dari kalangan keluarga santri.
Dan
di era kemerdekaan, tentu kita masih ingat, bagaimana Ibu Negara kita,
Ibu Fatmawati, memakai berkerudung di dalam acara-acara kenegaraan.
Sejarah Jilbab, ternyata telah mengakar di Nusantara lebih dari 500
tahun. Dengan demikian, tidaklah berlebihan, jika kita katakan Jilbab
telah menjadi bagian dari budaya bangsa Indonesia.
Dengan demikian, anjuran KH Cholil Ridwan, bukan hanya nasehat yang
berkenaan dengan syariat Islam, akan tetapi juga merupakan upaya untuk
melestarikan budaya luhur bangsa.
WaLlahu a’lamu bishshawab
Aneka Kerudung dari berbagai daerah