Berburu binatang seperti Babi, Kera, Beruang, Monyet, Ular, Labi-labi, Rusa, Kijang dan berbagai jenis unggas, merupakan salah satu bentuk mata pencaharian mereka. Kegiatan berburu dilaksanakan secara bersama-sama dengan membawa anjing. Alat yang digunakan adalah Tombak dan Parang. Di samping itu untuk mendapatkan binatang buruan juga menggunakan sistem perangkap dan jerat.
Jenis mata pencaharian lain yang dilakukan adalah meramu didalam hutan, yaitu mengambil buah-buahan dedaunan dan akar-akaran sebagai bahan makanan. Lokasi tempat meramu sangat menentukan jenis yang diperoleh. Jika meramu dihutan lebat, biasanya mendapatkan buah-buahan, seperti cempedak, durian, arang paro, dan buah-buahan lainnya. Di daerah semak belukar dipinggir sungai dan lembah mereka mengumpulkan pakis, rebung, gadung, enau, dan rumbia.
Mencari
rotan, mengambil madu, menangkap ikan adalah bentuk mata pencaharian
lainnya. Kini mereka juga telah mengenal pertanian dan perkebunan dengan
mengolah ladang dan karet sebagai mata pencahariannya.
Semua bentuk dan jenis peralatan yang digunakan dalam mendukung dalam proses pemenuhan kebutuhan hidup nya sangat sederhana sekali.
Bangunan tempat tinggalnya berupa pondok yang terbuat dari kayu dengan atap jerami atau sejenisnya.
Konstruksi bangunannya dengan sistem ikat dari bahan rotan dan sejenisnya. Bangunannya berbentuk panggung dengan tinggi 1,5 meter, dibagian bawahnya dijadikan sebagai lumbung (bilik) yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan padi. Ukuran bangunan sekitar 4 x 5 meter atau sesuai dengan kebutuhan keluarga. Disamping bangunan tempat tinggal, dalam satu lingkungan keluarga besar terdapat pondok tanpa atap sebagai tempat duduk-duduk dan menerima tamu.
Semua bentuk dan jenis peralatan yang digunakan dalam mendukung dalam proses pemenuhan kebutuhan hidup nya sangat sederhana sekali.
Bangunan tempat tinggalnya berupa pondok yang terbuat dari kayu dengan atap jerami atau sejenisnya.
Konstruksi bangunannya dengan sistem ikat dari bahan rotan dan sejenisnya. Bangunannya berbentuk panggung dengan tinggi 1,5 meter, dibagian bawahnya dijadikan sebagai lumbung (bilik) yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan padi. Ukuran bangunan sekitar 4 x 5 meter atau sesuai dengan kebutuhan keluarga. Disamping bangunan tempat tinggal, dalam satu lingkungan keluarga besar terdapat pondok tanpa atap sebagai tempat duduk-duduk dan menerima tamu.
Kini terdapat tiga kategori kelompok pemukiman Suku Anak Dalam. Pertama yang bermukim didalam hutan dan hidup berpindah-pindah. Kedua kelompok yang hidup didalam hutan dan menetap. Ketiga adalah kelompok yang pemukimnya bergandengan dengan pemukiman orang luar ( orang kebiasaan )
Cara berpakaiannya pun kini bervariasi, yaitu: (1) bagi yang tinggal di hutan dan berpindah-pindah pakaiannya sederhana sekali, yaitu cukup menutupi bagian tertentu saja. (2) yang tinggal di hutan tetap menetap, di samping berpakaian sesuai dengan tradisinya, juga terkadang menggunakan pakaian seperti masyarakat umum seperti baju, sarung atau celana, (3) yang tinggal berdekatan dengan pemukiman masyarakat luar atau desa, berpakaian seperti masyarakat desa lainnya. Namun kebiasaannya tidak menggunakan baju masih sering ditemukan dalam wilayah pemukimannya.
Asal usul Suku Anak Dalam sering juga disebut dengan orang rimba atau Suku Kubu merupakan salah satu suku asli yang ada di Provinsi Jambi. Suku Anak Dalam dalam hidup berpindah-pindah. Dikawasan hutan secara berkelompok dan menyebar di beberapa Kabupaten, seperti di Kabupaten Batang hari, Tebo, Bungo, Sarolangun dan Merangin.
Sejumlah ahli antropolog berpandangan bahwa Suku Anak Dalam termasuk kategori protom Melayu (Melayu Tua) dari beberapa hasil kajian yang dilakukan, menggambarkan bahwa kebudayaan Suku Anak Dalam yang ada di Provinsi Jambi memiliki kesamaan dengan suku melayu lainnya, seperti bahasa, kesenian dan nilai-nilai tradisi lainnya. Salah satu contoh adalah bentuk pelaksanaan upacara besale ( upacara pengobatan ) pada masyarakat anak dalam hampir sama dengan bentuk upacara aseik (upacara pengobatan) pada masyarakat Kerinci yang juga tergolong sebagai protom melayu.
Di samping itu ada juga yang beranggapan bahwa Suku Anak Dalam adalah kelompok masyarakat terasing berasal dari kerajaan Pagaruyung. Mereka mengungsi kedalam hutan karena mendapat serangan dan tidak mau dikuasai serta diperintah oleh musuh.
Di dalam hutan mereka membuat pertahanan. Pendapat ini didasari dengan istilah yang digunakan dalam penyebutan Suku Anak Dalam sebagai orang kubu (Kubu bermakna pertahanan).
Suku Anak Dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya diatur dengan aturan, norma dan adat istiadat yang berlaku sesuai dengan budayanya. Dalam lingkungan kehidupannya dikenal istilah kelompok keluarga dan kekerabatan, seperti keluarga kecil dan keluarga besar. Keluarga kecil terdiri dari suami istri dan anak yang belum menikah.
Keluarga besar terdiri dari beberapa keluarga kecil yang berasal dari pihak kerabat istri. Anak laki-laki yang sudah kawin harus bertempat tinggal dilingkungan kerabat istrinya. Mereka merupakan satu kesatuan sosial dan tinggal dalam satu lingkungan pekarangan. Setiap keluarga kecil tinggal dipondok masing-masing secara berdekatan, yaitu sekitar dua atau tiga pondok dalam satu kelompok.
Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, mereka memiliki sistem kepemimpinan yang berjenjang, seperti Temenggung, Depati, Mangku, Menti dan Jenang. Temenggung merupakan jabatan tertinggi, keputusan yang ditetapkan harus dipatuhi. Bagi mereka yang melanggar akan dijatuhi hukuman atau sangsi sesuai dengan tingkat kesalahannya.
Peran Temenggung sangat penting karena berfungsi sebagai:
(1) Pimpinan tertinggi (sebagai Rajo),
(2)
Penegak hukum yang memutuskan perkara, (3) Pemimpin upacara ritual,
(4) Orang yang memilki kemampuan dan kesaktian. Oleh sebab itu dalam
menentukan siapa yang akan menjadi emenggung harus diperhatikan latar
belakangnya, seperti keturunan dan kemampuan memimpin dalam menjalankan
tugasnya.
Kepercayaan
Suku Anak Dalam terhadap Dewa-dewa roh halus yang menguasai hidup
tetap terpatri, kendatipun diantara mereka telah mengenal agama islam.
Mereka yakini bahwa setiap apa yang diperolehnya, baik dalam bentuk
kebaikan, keburukan, keberhasilan maupun dalam bentuk musibah dan
kegagalan bersumber dari para dewa. Sebagai wujud penghargaan dan
persembahannya kepada para dewa dan roh, mereka melaksanakan upacara
ritual sesuai dengan keperluan dan keinginan yang diharapkan. Salah
satu bentuk upacara ritual yang sering dilaksanakan adalah Besale
(upacara pengobatan).
Suku
Anak Dalam meyakini bahwa penyakit yang diderita sisakit merupakan
kemurkaan dari dewa atau roh jahat oleh sebab itu perlu memohon ampunan
agar penyakit yang diderita dapat disembuhkan. Properti yang digunakan
dalam upacara besale sangat sarat dengan simbol-simbol.
Dari
proses adaptasinya dengan lingkungan, Suku Anak Dalam juga memilki
pengetahuan tentang bahan pengobatan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan
dan hewan.
Melalui
panca indranya mampu membedakan tumbuhan beracun dan tidak beracun
termasuk mengolahnya. Pengetahuannya tentang teknologi sangat sederhana,
namun memiliki kemampuan mendeteksi masalah cuaca, penyakit dan
mencari jejak.
sumber
sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar