Pages

Wow, Bawang Goreng Hasilkan Omzet Ratusan Juta Per Bulan!

Masakan tanpa bawang akan kurang kenikmatannya. Ya, banyak banget jenis masakan yang terasa kian nikmat dan merangsang nafsu makan bila dibumbui atau dibubuhi bawang. Bawang putih paling pas untuk campuran bumbu gorengan, bawang merah paling nendang kalau diiris tipit-tipis, digoreng, lalu ditaburkan di atas masakan.

Ilustrasi: Dibanding bawang goreng jenis lain, harga bawang goreng batu memang lebih mahal, yakni Rp 140.000 sampai Rp 150.000 per kg. Hadi membuat dua kemasan bawang goreng, yakni kemasan mika dengan isi 100 gram, 200 gram, dan 400 gram. Sedang kemasan lain dalam toples plastik dengan isi 250 gram dan 500 gram.  Dalam sebulan, omzet bapak lima anak ini mencapai Rp 400 juta. Dari omzet tersebut, dia bisa mendulang laba antara 20% - 30%. (foto: google)Mengupas bawang susah-susah gampang. Bagi yang tak terbiasa, air mata pasti akan berlinang. Maka, demi alasan kepraktisan, muncullah banyak produk bawang goreng dalam kemasan. Adalah Hadi Suwarno, salah seorang dari sekian banyak pengusaha yang sudah merasakan renyah dan wanginya bisnis ini.
 Hadi mulai menggeluti bisnis bawang goreng kemasan merek Garuda Jaya sejak 1996. Awalnya, Hadi ingin mengaplikasikan ilmu selama di sekolah menengah dan perguruan tinggi. Ya, bapak lima anak ini lulusan Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) di Toraja dan alumni Jurusan Agribisnis Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Panca Bhakti, Palu.

Kelebihan bawang goreng racikan Hadi terletak pada warnanya yang kuning cerah, bawang yang lebih renyah dan beraroma khas, serta lebih tahan lama dibandingkan kebanyakan bawang goreng merek lain. Usut punya usut, rupanya rahasia kenikmatan bawang goreng cap Garuda Jaya ini terletak pada bahan bakunya yang merupakan bawang varietas Batu yang hanya tumbuh subur di Palu, Sulawesi Tengah. Bentuk bawang goreng ini cenderung bulat dan paling bagus dipanen saat umur 65 sampai 70 hari.
 
Soal pasokan, Hadi tak kuatir karena dia menjalin kemitraan dengan 100 petani bawang di lembah-lembah di Palu. Antara lain di daerah Bunterano, Sidera, Soloe, Wombo, dan Olobajo.
 
Dalam sehari, Hadi butuh 300 kilogram (kg) bawang merah. Setelah diolah, hasil-nya 100 kg bawang goreng.
 
Dengan bantuan 25 karyawan, Hadi memasarkan produknya sampai ke luar Palu, misalnya ke Manado dan Makassar. Pernah juga ia mengirim ke Jakarta pada 2003. "Tapi tak saya teruskan karena sistem pembayarannya enggak bagus," kata Hadi.
 
Sebetulnya, kata Hadi, peritel besar juga meminati produknya. Pada tahun 2002, misalnya, Hero Supermarket memintanya memasok bawang goreng ke gerai-gerai Hero di Jakarta sebanyak delapan ton sebulan, dengan bayaran Rp 7 juta. Tapi pembayaran baru akan dilakukan setelah pengiriman ketiga. Hadi pun menolak tawaran itu karena merasa sistemnya kurang menguntungkan. "Peraturan perdagangan selalu lebih banyak hanya berpihak pada pedagang besar," cetus Hadi.
 
Tapi tak berarti bawang goreng Hadi hanya berkutat di Sulawesi. Sesekali pembeli dari luar negeri datang langsung ke Palu. Mereka memborong bawang goreng produknya, mulai Rp 5 juta hingga Rp 10 juta. Contohnya pembeli Singapura yang kerap belanja bawang goreng untuk oleh-oleh ke negerinya.
 
Dibanding bawang goreng jenis lain, harga bawang goreng batu memang lebih mahal, yakni Rp 140.000 sampai Rp 150.000 per kg. Hadi membuat dua kemasan bawang goreng, yakni kemasan mika dengan isi 100 gram, 200 gram, dan 400 gram. Sedang kemasan lain dalam toples plastik dengan isi 250 gram dan 500 gram.
 
Dalam sebulan, omzet bapak lima anak ini mencapai Rp 400 juta. Dari omzet tersebut, dia bisa mendulang laba antara 20% - 30%. Kedepan, Hadi yang kelahiran 1964 ini berharap, bawang goreng bisa menjadi komoditas lokal dan makanan khas Indonesia yang mendunia. "Tapi seyogianya hal itu dikembangkan dengan bantuan pemerintah, sehingga kita bisa berpikir global dengan bertindak lokal," tuturnya, penuh harap.
 
Hampir semua orang mengenal dan bisa memproduksi bawang goreng. Tetapi mengapa Ermawati mampu menjual 2,5 ton bawang goreng di Singapura. Inilah kiatnya.
 
Dalam berbisnis, seseorang selalu akan mundur teratur bila dihadapkan pada modal, sehingga peluang di depan mata pun lewat begitu saja. Padahal dalam banyak kasus, ketika akan mulai membangun bisnis, justru peluang inilah inti permasalahannya. Hal ini, juga terjadi pada Ermawati ketika mencoba mencari peluang usaha di Singapura, pada sekitar tahun 1996–1997.


Di sisi lain, kadangkala seseorang terlalu muluk berangan-angan tentang bisnis yang akan dibangun, sehingga menyepelekan peluang bisnis yang dianggapecek-ecek. Semisal, bawang goreng. Memang, pelengkap makanan yang boleh ada boleh tidak di meja makan ini, dapat dibuat oleh hampir semua orang yang hobi masak memasak. Karena itu, banyak yang beranggapan bahwa bisnis bawang goreng adalah usaha picisan yang laku pun belum tentu, alih-alih akan berkembang. Namun, berbeda dengan Ermawati yang berbisnis bawang goreng atas inisiatif temannya di Singapura. Sedikit demi sedikit tapi pasti, kapasitas produksinya meningkat dari 1 kg hingga akhirnya sekarang mencapai 2,5 ton per minggu! Bahkan, kini "cabangnya" di Batam yang dibuka kira-kira setahun lalu, juga pelan-pelan menunjukkan kemajuan.

 
Kenapa bisa begitu? "Masyarakat Singapura sangat menyukai bawang goreng. Mereka menyantapnya sebagai teman makan nasi, mie, dan sebagainya. Tapi, mereka tidak bisa membuat seenak yang dijual di pasar, terutama seperti yang kami buat, yang lebih pas di lidah mereka daripada bawang goreng buatan mereka sendiri. Untuk itu, para ibu rumah tangga di sana sampai rela berburu bawang goreng yang lezat ke berbagai pasar. Sebab, sekarang mereka sudah mampu membedakan rasa bawang goreng yang enak dan yang tidak. Peluang (baca: permintaan,red.) inilah yang kami tangkap," jelasnya.
 
Ermawati menggunakan bawang merah dari Jawa dan Thailand. Karena, kedua jenis bawang merah ini, setelah digoreng akan menghasilkan bawang goreng yang lebih gurih rasanya dan lebih bagus penampilannya. Di samping itu, ia juga mempunyai cara khas dalam menggorengnya sebagai hasil dari percobaan demi percobaan. "Bumbu bawang goreng kami hanya garam, sedangkan yang bikinan Malaysia (pesaing kuat Indonesia dalam bisnis bawang goreng di Singapura,red.) terlalu banyak campurannya," ujarnya.
 
Di sisi lain, Ermawati bukan satu-satunya orang Batam yang berbisnis bawang goreng dan memasarkannya ke Singapura. "Tapi, 2–3 bulan kemudian mereka berhenti memasok alias tidak berproduksi lagi," katanya. Kemungkinannya, mereka memasok kepada banyaksupplier, sehingga pada akhirnya tidak mampu memenuhi permintaan. Sebaliknya, menyadari bahwa usahanya ini berkapasitas home industry, dalam menembus pasar Ermawati mempercayakan pemasaran produknya pada satu tauke (baca: supplier, red.) saja. Di sisi lain, dalam sistem pembayaran, banyak yang masih menggunakan sistem bayar belakangan. "Kami menggunakan sistem cash dan jual putus. Sebab, perputaran produksinya sangat cepat. Apalagi, setelah muncul banyak pesaing" imbuhnya.
 
Bawang goreng buatan Ermawati dijual dengan seharga 1 dolar Singapura 1 sen atau sekitar Rp6.000,-/ons. Setiap minggu, dipasok ke tauke sebanyak 50 kotak dan setiap kotak berisi 130 bungkus plastik dalam ukuran 1 ons. Bawang goreng yang mampu bertahan 1–2 bulan jika disimpan ini, biasanya tandas diserap pasar tak sampai satu minggu. Untuk meningkatkan omset, Ermawati juga terus berproduksi untuk pasokan pembelian eceran. Sekadar informasi, bisnis ini dibangun dengan modal Rp200 ribu dan kini meraup omset sekitar Rp40 juta/bulan.


Kemudian, dengan alasan sudah cukup menguasai pasar bawang goreng di Singapura, bisnis ini mulai merambah Batam. "Dibandingkan dengan Singapura, Indonesia jauh lebih luas. Bila bawang goreng kami hanya berkutat di Singapura, maka ia akan mentok. Berbeda, jika kami juga mampu menguasai pasar bawang goreng di Indonesia," ucap Ermin, sang menantu, yang dipercaya menangani bisnis bawang goreng ibu mertuanya untuk kawasan Batam dan sekitarnya.

 
Bawang goreng yang dipasarkan di Batam, dikemas dalam bungkus plastik berukuran 1 kg dengan harga Rp50 ribu. Untuk merebut pasar, ia juga menjual dalam ukuran satu ons dengan harga Rp4.000,- atau Rp1.000,- lebih murah daripada harga pasar yang berlaku di Batam. Selain itu, meski berada dalam satu payung, tapi manajemen kedua bisnis ini dipisahkan. Demikan pula dalam pemasarannya. "Kalau Ibu melaluisupplier , saya menjual langsung. Maklum, orang Indonesia pada umumnya pandai membuat bawang goreng dan biasanya membuat bawang goreng sendiri. Jadi, bawang goreng tidak terlalu menarik perhatian mereka. Untuk menembus bisnis bawang goreng di sini, saya harus menawarkannya ke sana kemari. Sekarang, sedikit demi sedikit orang-orang mulai menyukai dan mencari bawang goreng kami," ujarnya.
 
Pria yang menanamkan modal Rp300 ribu untuk bisnis ini dan meraup omset rata-rata Rp10 juta/bulan, juga tidak mau gegabah, sambil terus mencari pasar (dalam waktu dekat ini ia akan "melempar" bawang gorengnya ke Tanjung Pinang dan Karimun,red. ) untuk sementara hanya memproduksi 1 ton bawang goreng per minggu, untuk kawasan Batam dan sekitarnya. Banyak orang beranggapan bahwa bila berbisnis haruslah yang serba wah baik bidang usahanya, modal, pengelolaan, maupun pemasarannya. Ermawati dengan segala kesederhanaanya menepis itu semua dengan bawang gorengnya. (fn/kn/mp) www.suaramedia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar