Pages

PERTUNANGAN DALAM PANDANGAN ISLAM


Bila kita mau jujur, makna pertunangan itu adalah budaya baru yang dikembangkan oleh masyarakat modern, sebagai penitisan ulang dari budaya mirip di masa Siti Nurbaya dulu yang disebut “perjodohan”. Bedanya, perjodohan bersifat lebih mengikat, dan lebih sering dilakukan tanpa sepengetahuan anak yang dijodohkan. Kedua calon mempelai itu dijodohkan semenjak kecil, bahkan kadang sebelum mereka dilahirkan –dengan perkiraan seandainya anaknya perempuan anak dijodohkan dengan anak si Fulan misalnya–, sehingga keduanya tak punya pilihan selain menerimanya mentah-mentah!
Pertunangan bersifat lebih fleksibel, karena dilakukan dengan melibatkan langsung pihak yang dijodohkan. Maka, mengacu pada kaidah fikih: “Asal dari adat kebiasaan itu mubah kecuali bila ada dalil yang menunjukkan keharamannya, maka pertunangan secara hukum asal adalah mubah.
Itu artinya, boleh saja terjadi kesepakatan antara pria muslim dengan wanita muslimah untuk saling menikah di waktu tertentu, karena pada saat itu keduanya masih ingin menyelesaikan studi misalnya, atau karena si calon suami ingin merawat kedua orang tuanya terlebih dahulu selama satu atau dua tahun. Itu akan dimasukkan dalam kategori “perjanjian”.
Tapi, yang harus dijelaskan di sini, karena ia hanya sebagai kebiasaan, maka pertunangan tidak memiliki dasar hukum khusus seperti halnya lamaran atau akad pernikahan. Karena tak memiliki dasar khusus, maka tidak boleh seseorang menjadikan pertunangan ini sebagai ikatan. Karena ikatan itu hanya berlaku dengan akad pernikahan, dan itu hukum baku yang tak dapat diubah. Maka bila seseorang melakukan pertunangan atau “menunangkan” putrinya dengan pria tertentu misalnya, sifatnya tidak boleh dijadikan perjanjian yang mengikat. Keduanya hanya boleh diibaratkan sebagai “janji keinginan” untuk saling menikahi. Seperti seorang pria yang mengatakan, “Saya berniat menikahkan putra saya dengan putrimu,” lalu yang diajak bicara menjawab, “Saya juga berniat demikian, kira-kira dua tahun lagi…”
Karena tidak mengikat, maka bila salah seorang di antara keduanya tiba-tiba menjadi kuat hasratnya untuk menikah, sementara pihak yang lain belum mau menikah, maka pihak yang ingin menikah itu bebas membatalkan perjanjian tersebut, untuk –misalnya– menikah dengan pria atau wanita lain.
Artinya, di awal pertunangan tersebut memang harus disepakati bahwa pertunangan itu hanyalah sebatas rencana, bukan sebuah perjanjian yang mengikat, di mana salah seorang tidak boleh membatalkannya secara sepihak, harus dengan kesepakatan kedua belah pihak. Karena bila demikian, maka itu sama saja mengganti syariat akad dengan pertunangan. Di level tersebut, maka pertunangan bisa menjadi bid’ah yang diharamkan. Kenapa bid’ah? Karena definisi bid’ah yaitu:
Sebuah metode atau cara dalam urusan agama yang sengaja dibuat-buat, menyerupai bentuk syariat (ibadah) yang sudah ada, dengan tujuan pelaksanaan menambah ibadah, atau memiliki tujuan seperti tujuan syariat.
Sementara perbuatan bid’ah itu haram dalam Islam:
Hati-hatilah kalian terhadap ibadah yang dibuat-buat. Setiap ibadah yang dibuat-buat itu bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat.” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud IV L 201, dengan nomor 4607. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi V : 44, dengan nomor 2676, dan telah ditakhrij sebelumnya hal. 42.]
Coba cermati ungkapan, “Sebuah metode atau cara dalam urusan agama yang sengaja dibuat-buat, menyerupai bentuk syariat (ibadah) yang sudah ada….” Jelas terlihat bahwa pertunangan yang mengikat itu adalah cara dalam urusan agama yang menyerupai bentuk syariat yang ada, yaitu akad pernikahan. Bila sebatas pertunangan yang tak mengingat, maka ia tak menjadi seperti akad. Ia hanya terhitung kebiasaan saja, dan asal hukumnya adalah mubah. Ketika dibuat mengikat, ia menyerupai akad, padahal akad nikah sendiri adalah soal ibadah bukan kebiasaan, mengingat ada aturannya, adab, rukun dan syaratnya, seperti ibadah-ibadah lain.
Selanjutnya, pada kebiasaan pertunangan yang ada di masa modern ini –beda dengan perjodohan di masa lampau– banyak orang beranggapan bahwa pertunangan itu sudah menjadi “semi pernikahan”, di mana karena sudah bertunangan maka kedua calon pasangan itu boleh bepergian berdua ke mana-mana tanpa disertai oleh mahram-nya, berduaan, berpacaran, saling berpegangan, menjalin keakraban sedemikian rupa, dan lain sebagainya. Hal itu jelas berlawanan dengan aturan dalam Islam. Pria dan wanita yang bertunangan belumlah halal untuk saling bersentuhan, bepergian berduaan tanpa mahram atau berdua-duaan di satu tempat. Keduanya masih dihitung sebagai orang lain. Sama dengan orang yang mengatakan, “Saya punya keinginan untuk membeli mobil Anda,” maka itu bukanlah transaksi, meskipun si pemilik mobil juga punya keinginan menjual mobilnya. Sehingga mobil itu belum halal baginya. Soal hubungan pria wanita dalam Islam, jelas tak dapat diserupakan dengan mobil dan calon pembelinya.
Nabi shallallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Sesungguhnya salah seorang di antaramu ditikam di kepalanya dengan jarum dari besi adalah lebih baik daripada menyentuh seseorang yang bukan mahramnya.
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir dan perawi lainnya, kemudian dinyatakan shahih oleh Syekh Nashiruddin al-Albani dalam Silsilatul Ahadits Ash-Shahihah wa Syai-un min Fiqhiha wa Fawaa-iduhaa.