Judul buku karya Dr. Abdul Munir Mulkhan ini adalah : “Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar”. Pembaca tentu sudah membayangkan akan memperoleh informasi tentang kedua hal itu, yaitu ajaran Syekh Siti Jenar dan bagaimana dia mati. Penulis juga setia dengan ketentuan seperti itu.
Bertitik tolak dari ketentuan umum itu, paragraf 3 sampai 6 pada bab 1 tidak relevan. Bab 1 diberi judul : “Melongok jalan sufi : Humanisme Islam Bagi Semua”. Mungkin penulis ingin mengaktualisasikan ajaran Syekh Siti Jenar dengan situasi kini, tetapi apa yang ditulis tidak mengena sama sekali. Bahkan di dalam paragraf 3-6 itu banyak pernyataan yang mencengangkan saya sebagai seorang muslim.
Pernyataan di dalam sebuah tulisan, termasuk buku, dapat berasal dari diri sendiri atau dari orang lain. Pernyataan orang lain mesti disebutkan sumbernya; oleh karena itu pernyataan yang tidak ada sumbernya dianggap oleh pembaca sebagai pernyataan dari penulis. Pernyataan orang lain dapat berbeda dengan sikap, watak, dan pendapat penulis, tetapi pernyataan penulis jelas menentukan sikap, watak dan pendapatnya.
Pernyataan-pernyataan di dalam sebuah buku tidak lepas satu dengan yang lain.
Rangkaiannya, sistematika penyajiannya, merupakan sebuah bangunan yang menentukan kadar ilmu dan kualitas buku tersebut. Rangkaian dan sistematika pernyataan mesti disusun menurut logika keilmuan yang dapat diterima dan dibenarkan oleh masyarakat ilmu.
Untuk mengenal atau menguraikan ajaran Syekh Siti Jenar, adalah logis kalau didahului dengan uraian tentang asal usul yang empunya ajaran. Ini juga dilakukan oleh Dr. Abdul Munir Mulkhan (paragraf 1 bab 1 hal. 3-10). Di dalam paragraf tersebut, diterangkan asal usul Syekh Siti Jenar yang tidak jelas. Seperti telah diterangkan, karena tidak ada sumber obyektif maka kisah asal-usul ini juga penuh dengan versi-versi. Di halaman 3, dengan mengutip penelitian Dalhar Shodiq untuk skripsi S-1 Fakultas Filsafat UGM, diterangkan bahwa Syekh Siti Jenar adalah seorang putra raja pendeta dari Cirebon yang bernama Resi Bungsu. Nama asli Syekh Siti Jenar adalah Hasan Ali alias Abdul Jalil.
Kalau seseorang menulis buku, apalagi ada hubungannya dengan hasil penelitian, pembahasan secara ilmiah dengan menyandarkan pada logika amat penting. Tidak semua berita dikutip begitu saja tanpa analisis. Didalam uraian tentang asal-usul Syekh Siti Jenar di halaman 3-10 ini jelas sekali penuh dengan kejanggalan, tanpa secuil analisis pun untuk memvalidasi berita tersebut.
Kejanggalan-kejanggalan itu adalah :
1) Ayah Syekh Siti Jenar adalah seorang raja pendeta yang bernama Resi Bungsu. Istilah raja pendeta ini tidak jelas. Apakah dia seorang raja, atau pendeta. Jadi, beritanya saja sudah tidak jelas sehingga meragukan.
2) Dihalaman 62, dengan mengutip sumber Serat Syekh Siti Jenar, diterangkan bahwa ayah Syekh Siti Jenar adalah seorang elite agama Hindu-Budha. Agama yang disebutkan ini juga tidak jelas. Agama Hindu tidak sama dengan agama Budha. Setelah Islam muncul menjadi agama mayoritas penduduk pulau Jawa, persepsi umum masyarakat memang menganggap agama Hindu dan Budha sama. Padahal ajaran kedua agama itu sangat berbeda dan antar keduanya pernah terjadi perseteruan akut selama berabad-abad. Runtuhnya Mataram Hindu pada abad ke-10 disebabkan oleh perseteruan akut tersebut.
Runtuhnya Mataram Hindu berakibat sangat fatal bagi perkembangan Indonesia. Setelah itu kerajaan-kerajaan Jawa terus menerus terlibat dengan pertikaian-pertikaian yang membuat kemunduran. Kemajuan teknologi bangsa Jawa yang pada abad ke-10 sudah di atas Eropa, pada abad ke-20 ini jauh di bawahnya. Tidak hanya itu, bahkan selama beberapa abad Indonesia (termasuk Jawa) ada di bawah bayang-bayang bangsa Eropa.
3) Kalau ayah Syekh Siti Jenar beragama Hindu atau Budha, mengapa anaknya diberi nama Arab, Hasan Ali alias Abdul Jalil. Apalagi seorang raja pendeta yang hidup di era pergeseran mayoritas agama rakyat menuju agama Islam, tentu hal itu janggal sekali.
4) Atas kesalahan yang dilakukan anaknya, sang ayah menyihir sang anak menjadi seekor cacing lalu dibuang ke sungai. Di sini tidak disebut apa kesalahan tersebut, sehingga sang ayah sampai tega menyihir anaknya menjadi cacing. Masuk akalkah seorang ayah yang raja pendeta menyihir anaknya menjadi cacing ? Ilmu apakah yang dimiliki raja pendeta Resi Bungsu untuk mengubah seorang menjadi cacing ? Kalau begitu, mengapa Resi Bungsu tidak menyihir para penyebar Islam yang pada waktu itu mendepak pengaruh dan ketentraman batinnya ? Cerita seorang mampu merubah orang menjadi binatang adalah cerita kuno yang mungkin tidak pernah ada orang yang melihat buktinya. Ini hanya terjadi di dunia pewayangan yang latar belakang agamanya Hindu (Mahabarata) dan Budha (Ramayana).
5) Cacing Hasan Ali yang dibuang di sungai di Cirebon tersebut, suatu ketika terbawa pada tanah yang digunakan untuk menambal perahu Sunan Bonang yang bocor. Sunan Bonang berada di atas perahu sedang mengajar ilmu Ghoib kepada sunan Kalijogo. Betapa luarbiasa kejanggalan pada kalimat tersebut. Sunan Bonang tinggal di Tuban sedang cacing Syekh Siti Jenar di buang di daerah Cirebon. Di tempat lain, dikatakan bahwa sunan Bonang mengajar sunan Kalijogo di perahu yang sedang mengapung di sebuah rawa. Adakah orang menambal perahu dengan tanah ? Kalau toh menggunakan tanah, tentu dipilih dan disortir tanah tersebut, termasuk tidak boleh tanah yang membawa cacing.
6) Masih di halaman 4 diterangkan, suatu saat Hasan Ali dilarang Sunan Giri mengikuti pelajaran ilmu Ghaib. Tidak pernah diterangkan bagaimana hubungan Hasan Ali dengan sunan Giri yang tinggal di dekat Gresik.
Karena tidak boleh, Hasan Ali kemudian merubah dirinya menjadi seekor burung sehingga berhasil mendengarkan kuliah Sunan Giri tadi dan memperoleh ilmu Ghaib. Setelah itu Hasan Ali lalu mendirikan perguruan yang ajarannya dianggap sesat oleh para wali. Untuk apa Hasan Ali belajar ilmu Ghaib dari Sunan Giri, padahal dia sudah mampu merubah dirinya menjadi seekor burung ?
Alhasil, seperti dikatakan oleh Dr. Abdul Munir Mulkhan sendiri dan banyak penulis yang lain, asal-usul Syekh Siti Jenar memang tidak jelas. Karena itu, banyak pula orang yang meragukan, sebenarnya Syekh Siti Jenar itu pernah ada atau tidak. Pertanyaan ini akan saya jawab di belakang. Keraguan tersebut juga berkaitan dengan, tempat lahirnya, dimana sebenarnya tempat tinggal Syekh Siti Jenar. Banyak penulis selalu menerangkan bahwa nama lain Syekh Siti Jenar adalah : Sitibrit, Lemahbang, Lemah Abang. Kebiasaan waktu, nama, sering dikaitkan dengan tempat tinggal.
Dimana letak Siti Jenar atau Lemah Abang tersebut sampai sekarang tidak pernah jelas ; padahal tokoh terkenal yang hidup pada zaman itu semuanya diketahui tempat tinggalnya. Syekh Siti Jenar tidak meninggalkan satupun petilasan.
Karena keraguan dan ketidakjelasan itu, saya setuju dengan pendapat bahwa Syekh Siti Jenar memang tidak pernah ada. Lalu, apa sebenarnya Syekh Siti Jenar itu ?
Kalau Syekh Siti Jenar tidak pernah ada., mengapa kita bertele-tele membicarakan ajarannya. Untuk apa kita berdiskusi tentang sesuatu yang tidak pernah ada. Sebaliknya, Syekh Siti Jenar hanya menjadi pembicaraan sangat terbatas di kalangan orang Jawa.
Sunan Kalijogo Semua orang di Indonesia, apalagi orang Islam, kenal dengan nama Sunan Kalijogo yang kecilnya bernama Raden Mas Said ini. Dikatakan dia adalah putera Adipati Tuban Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur yang beragama Islam. Silsilah Raden Sahur ke atas adalah Putera Ario Tejo III (Islam), putera Ario Tejo II (Hindu), putera Ario Tejo I, putera Ronggolawe, putera Ario Banyak Wide alias Ario Wiraraja, putera Adipati Ponorogo.
Itulah asal-usul Sunan Kalijogo yang banyak ditulis dan diyakini orang, yang sebenarnya merupakan versi Jawa. Dua versi lainnya tidak pernah ditulis atau dijumpai dalam media cetak sehingga diketahui masyarakat luas (Imron Abu Ammar, 1992).
Di depan telah saya singgung bahwa kisah Sunan Kalijogo versi Jawa ini penuh dengan ceritera mistik. Sumber yang orisinal tentang kisah tersebut tidak tersedia. Ricklefs, sejarawan Inggris yang banyak meneliti sejarah Jawa, menyebutkan bahwa sebelum ada catatan bangsa Belanda memang tidak tersedia data yang dapat dipercaya tentang sejarah Jawa. Sejarah Jawa banyak bersumber dari catatan atau cerita orang-orang yang pernah menjabat sebagai Juru Pamekas, lalu sedikit demi sedikit mengalami distorsi setelah melewati para pengagum dan penentangnya.
Namun demikian sebenarnya Sunan Kalijogo meninggalkan dua buah karya tulis, yang salah satu sudah lama beredar sehingga dikenal luas oleh masyarakat, yaitu Serat Dewo Ruci, sedang yang satu lagi belum dikenal luas, yaitu Suluk Linglung. Serat Dewo Ruci telah terkenal sebagai salah satu lakon wayang. Sunan Kalijogo sendiri sudah sering menggelar lakon yang sebenarnya merupakan kisah hidup yang diangan-angankan sendiri, setelah kurang puas dengan jawaban Sunan Bonang atas pertanyaan yang diajukan. Sampai sekarang Serat Dewo Ruci merupakan kitab suci para penganut kejawen, yang sebagian besar merupakan pengagum ajaran Syekh Siti Jenar yang fiktif tadi.
Kalau Serat Dewo Ruci diperbandingkan dengan Suluk Linglung, mungkin para penganut Serat Dewo Ruci akan kecelek (merasa tertipu). Mengapa demikian ? Isi Suluk Linglung ternyata hampir sama dengan isi Serat Dewo Ruci, dengan perbedaan sedikit namun fundamental. Di dalam Suluk Linglung Sunan Kalijogo telah menyinggung pentingnya orang untuk melakukan sholat dan puasa, sedang hal itu tidak ada sama sekali dalam Serat Dewo Ruci. Kalau Serat Dewo Ruci telah lama beredar, Suluk Linglung baru mulai dikenal akhir-akhir ini saja. Naskah Suluk Linglung disimpan dalam bungkusan rapi oleh keturunan Sunan Kalijogo. Seorang Pegawai Departemen Agama Kudus, Drs Chafid mendapat petunjuk untuk mencari buku tersebut, ternyata disimpan oleh Ny. Mursidi, keturunan Sunan Kalijogo ke-14. Buku tersebut ditulis di atas kulit kambing, oleh tangan Sunan Kalijogo sendiri menggunakan huruf Arab pegon berbahasa Jawa. Tahun 1992 buku tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Sebelumnya Sunan Kalijogo belum setia menjalankan syariat Islam, sehingga orang Jawa hanya meyakini bahwa yang dilakukan oleh Sunan terkenal ini bukan sholat lima waktu melainkan sholat Da’im {terus-menerus}. Jadi Sunan Kalijogo tidak sholat lima waktu melainkan sholat da’im dengan membaca Laa ilaaha illallah atau Allah …. kapan saja dan dimana saja tanpa harus wudhu dan rukuk sujud . Atas dasar itu untuk sementara saya menganggap bahwa Syekh Siti Jenar sebenarnya adalah Sunan Kalijogo. Hipotesis inilah yang akan saya tulis dan sekaligus saya gunakan untuk mengajak kaum muslimin Indonesia untuk tidak bertele-tele menyesatkan diri dalam ajaran Syekh Siti Jenar. Atas dasar itu pula saya menganggap bahwa diskusi tentang Syekh Siti Jenar, seperti yang dilakukan oleh Dr. Abdul Munir Mulkhan ini, menjadi tidak mempunyai landasan yang kuat kalau tidak mengacu kedua buku karya Sunan Kalijogo tersebut.
Sebagai tambahan, pada waktu Sunan Kalijogo masih berjati diri seperti tertulis didalam Serat Dewo Ruci, murid-murid kinasih-nya berpaham manuggaling kawulo gusti (seperti Sultan Hadiwidjojo, Pemanahan, Sunan Pandanaran, dan sebagainya), sedang setelah kaffah dengan tauhid murni, Sunan Kalijogo mengutus muridnya yaitu Joko Katong, yang ditugaskan untuk mengislamkan Ponorogo. Joko Katong sendiri menurunkan tokoh-tokoh Islam daerah tersebut yang pengaruhnya amat luas hingga sekarang, termasuk Kyai Kasan Bestari (guru R. Ng. Ronggowarsito), Kyai Zarkasi (pendiri PS Gontor), dan mantan Presiden BJ Habibie, termasuk Ny Ainun Habibie.
Menurut informasi dari sumber orisinal yang tersimpan di musium Istana Istambul, Turki. Menurut sumber tersebut, ternyata organisasi Walisongo dibentuk oleh Sultan Muhammad I. Berdasarkan laporan para saudagar Gujarat itu, Sultan Muhammad I ingin mengirim tim yang beranggotakan sembilan orang, yang memiliki kemampuan diberbagai bidang, tidak hanya bidang ilmu agama saja. Untuk itu Sultan Muhammad I mengirim surat kepada pembesar Afrika Utara dan Timur Tengah, yang isinya minta dikirim beberapa ulama yang mempunyai karomah. Berdasarkan perintah Sultan Muhammad I itu lalu dibentuk tim yang beranggotakan 9 orang untuk diberangkatkan ke pulau Jawa pada tahun 1404. Tim tersebut diketuai oleh Maulana Malik Ibrahim yang merupakan ahli mengatur negara (ahli tata negara) dari Turki. Berita ini tertulis dalam kitab Kanzul ‘Hum karya Ibnul Bathuthah, yang kemudian dilanjutkan oleh Syekh Maulana Al-Maghribi.
Secara lengkap, nama, asal dan keahlian 9 orang tersebut adalah sebagai berikut:
1) Maulana Malik Ibrahim, berasal dari turki, ahli mengatur negara (ahli tata negara).
2) Maulana Ishaq, berasal dari Samarkand, Rusia Selatan, ahli pengobatan.
3) Maulana Ahmad Jumadil Kubro dari Mesir.
4) Maulana Muhammad Al-Maghrobi, berasal dari Maroko.
5) Maulana Malik Isro’il, dari Turki, Ahli mengatur negara (ahli tata negara).
6) Maulana Muhammad Ali Akbar, dari Persia (Iran), ahli pengobatan.
7) Maulana Hasanuddin, dari Palestina.
8) Maulana Aliyudin, dari Palestina.
9) Syekh Subakir, dari Iran, Ahli menumbali daerah yang angker yang dihuni oleh Jin jahat.
Dengan informasi baru itu sejarah Walisongo versi Jawa. Ternyata memang ada sejarah Walisongo versi non jawa, seperti telah disebutkan di muka, tidak pernah diekspos, entah oleh Belanda atau siapa saja, agar orang Jawa, termasuk yang memeluk agama Islam, selamanya terus dan semakin tersesat dari kenyataan yang sebenarnya. Dengan Infromasi baru itu, menjadi Jelaslah apa sebenarnya Walisongo itu. Walisongo adalah gerakan berdakwah untuk menyebarkan Islam.
Latar Belakang Gerakan Syekh Siti Jenar
Tulisan tentang Syekh Siti Jenar sebenarnya hanya bersumber pada satu tulisan saja, yang mula-mula adalah tanpa pengarang. Tulisan yang ada pengarangnya juga ada, misalnya Serat Sastro Gendhing oleh Sultan Agung.
Buku berjudul “Ajaran Syekh Siti Jenar” karya Raden Sosrowardojo yang menjadi buku induk karya Dr. Abdul Munir Mulkhan itu sebenarnya merupakan gubahan atau tulisan ulang dari buku dengan judul yang sama karya Ki Panji Notoroto. Nama Panji Notoroto adalah samaran mantan Adipati Mataram penganut berat ajaran Syekh Siti Jenar.
Ki Panji Notoroto memberi informasi menarik, bahwa rekan-rekan adipati seangkatannya ternyata tidak ada yang dapat membaca dan menulis. Ini menunjukkan bahwa setelah era Demak Bintoro, nampaknya pendidikan klasikal dimasyarakat tidak berkembang sama sekali. Memahami Al-Qur’an dan Hadits tidak mungkin kalau tidak didasari dengan ilmu. Penafsiran Al-Qur’an tanpa ilmu akan menghasilkan hukum-hukum yang sesat belaka. Itulah nampaknya yang terjadi pada era pasca Demak, yang kebetulan sejak Sultan Hadiwidjojo, agama yang dianut kerajaan adalah agama Manuggaling Kawulo Gusti.
Disamping masalah pendidikan, sejak masuknya agama Hindu di Jawa ternyata pertentangan agama tidak pernah reda. Hal ini dengan jelas ditulis di dalam Babad Demak. Karena pertentangan antar agama itulah Mataram Hindu runtuh. Sampai dengan era Singosari, masih ada tiga agama besar di Jawa yaitu Hindu, Budha, dan Animisme yang sering disebut agama Jawa.
Untuk mencoba meredam pertentangan agama itu, Prabu Kertonegoro, raja besar dan terakhir Singosari, mencoba untuk menyatukannya dengan membuat agama baru disebut agama Syiwa-Boja. Syiwa mewakili agama Hindu, Bo singkatan dari Budha dan Ja mewakili agama Jawa. Nampaknya sintesa itulah yang ditiru oleh politikus besar di Indonesia akhir dekade 1950-an dulu, yaitu Nasakom.
Dengan munculnya Islam sebagai agama mayoritas baru, banyak pengikut agama Hindu, Budha dan Animisme melakukan perlawanan secara tidak terang-terangan (sembunyi-sembunyi). Mereka lalu membuat berbagai cerita, misalnya Gatholoco, Darmogandhul, Wali Wolu Wolak-walik, Syekh Bela Belu, dan yang paling terkenal adalah Syekh Siti Jenar. Untuk yang terakhir itu kebetulan dapat di domplengkan kepada salah satu anggota wali songo yang terkenal, yaitu Sunan Kalijogo seperti yang telah disebutkan dimuka. Jadi Syekh Siti Jenar sebenarnya hanya sebuah gerakan anti reformasi, anti perubahan dari Hindu-Budha-Jawa ke Islam.
Oleh karena itu isi gerakan itu selalu sinis terhadap ajaran Islam, dan hanya mengambil potongan-potongan ajarannya yang secara sepintas nampak tidak masuk akal. Potongan-potongan ini banyak sekali disitir oleh Dr. Abdul Munir Mulkhan tanpa tela’ah (analisis) yang didasarkan pada dua hal, yaitu logika dan aqidah.
Pernyataan-Pernyataan
Masalah pernyataan yang dibuat oleh penulis buku ini (Dr. Abdul Munir Mulkhan) telah saya singgung dimuka. Banyak sekali pernyataan yang saya sebagai muslim ngeri membacanya, karena buku ini ditulis juga oleh seorang muslim, malah salah seorang tokoh organisasi Islam di Indonesia (Muhammadiyah). Misalnya pernyataan yang menyebutkan “ngurusi Tuhan,semakin dekat dengan Tuhan semakin tidak manusiawi, kelompok syariah yang dibenturkan dengan kelompok sufi, orang beragama yang mengutamakan formalitas, dan sebagainya”. Setahu saya dulu pernyataan seperti itu memang banyak diucapkan oleh orang-orang dari gerakan anti Islam, termasuk orang-orang dari Partai Komunis Indonesia yang menurut berita pernah menggelar kethoprak dengan lakon “Patine Gusti Allah” (matinya gusti Allah) di daerah Magelang pada tahun 1965-an awal. Bahkan ada pernyataan yang menyebutkan bahwa syahadat, sholat, puasa, membayar zakat dan menunaikan ibadah haji itu tidak perlu. Yang penting berbuat baik untuk kemanusiaan. Ini jelas pendapat para penganut agama Jawa yang sedih karena pengaruhnya terdesak oleh Islam. Rasulallah SAW juga tidak mengajarkan pelaksanaan ibadah hanya secara formalistik dan secara ritual saja. Islam mengajarkan kepada penganutnya untuk berbuat baik, karena kehidupan muslim harus memenuhi dua aspek, yaitu Hablumminallah wa hablum minannas (hubungan mahluk dengan Allah dan hubungan mahluk dengan sesamanya)Di dalam buku, seperti saya sebutkan, hendaknya pernyataan disusun sedemikian rupa untuk membangun sebuah misi atau pengertian. Apa sebenarnya misi yang akan dilakukan oleh Dr. Abdul Munir Mulkhan dengan menulis buku Syekh Siti Jenar itu. Buku ini juga dengan jelas menyiratkan kepada pembaca bahwa mempelajari ajaran Syekh Siti Jenar itu lebih baik dibandingkan mempelajari Fiqih atau ilmu agama lainnya. Islam tidak mengkotak-kotakkan antara Fiqih, Sufi dan sebagainya. Islam adalah satu, yang karena begitu kompleknya maka orang harus belajar secara bertahap.
Belajar tauhid merupakan tahap awal untuk mengenal Islam.
Penulis (Dr. Abdul Munir Mulkhan) juga membuat pernyataan tentang mengkaji Al-Qur’an : “Bukan hanya orang Islam dan orang yang tahu bahasa Arab saja yang boleh mempelajari Al-Qur’an”. Disini nampaknya Dr. Abdul Munir Mulkhan lupa bahwa untuk belajar Al-Qur’an ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu muttaqien (Al-Baqoroh ayat 2) dan tahu penjelasannya, yang sebagian telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Jadi sebenarnya boleh saja siapapun mengkaji Al-Qur’an, tetapi tentu tidak boleh semaunya sendiri, tanpa melewati dua rambu penting itu. Oleh karena itu saya mengajak kepada siapapun, apalagi yang beragama Islam, untuk belajar Al-Qur’an yang memenuhi kedua syarat tersebut. Jangan belajar Al-Qur’an kepada pengikut ajaran Syekh Siti Jenar, karena pasti akan tersesat sebab Syekh Siti Jenar adalah Gerakan untuk Melawan Islam.
Catatan Kecil
Untuk mengakhiri tanggapan saya, saya sampaikan beberapa catatan kecil pada buku Syekh Siti Jenar Karya Abdul Munir Mulkhan ini :
1) Banyak kalimat yang tidak sempurna, tidak mempunyai subyek misalnya. Juga banyak kalimat yang didahului dengan kata sambung.
2) Banyak pernyataan yang terlalu sering diulang-ulang sehingga terkesan mengacaukan sistematika penulisan.
3) Bab 1 diakhiri dengan daftar kepustakaan, bab lain tidak, dan buku ini ditutup dengan Sumber Pustaka. Yang tercantum didalam Daftar kepustakaan Bab 1 hampir sama dengan yang tercantum dalam sumber pustaka.
4) Cara mensitir penulis tidak konsisten, contoh dapat dilihat pada halaman 2 yang menyebut : ….. sejarah Islam (Madjid, Khazanah, 1984), dan di alinea berikutnya tertulis : …. Menurut Nurcholis Madjid (Khazanah, 1984, hlm 33).
5) Pada bab 4, seperti diakui oleh penulis, merupakan terjemahan buku karya Raden Sosrowardoyo yang pernah ditulis didalam buku dengan judul hampir sama oleh penulis. Di dalam buku ini, bab tersebut mengambil hampir separoh buku (halaman 179-310). Karena pernah ditulis, sebenarnya di sini tidak perlu ditulis lagi melainkan cukup disitir saja.
Demikianlah tanggapan saya, kurang lebihnya mohon dima’afkan
Wassalamu’alaikum Warohmatullahi wabarookaatuh.
sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar